Seorang anak berusia “golden age” (0-8 tahun) melihat tangga
di rumahnya. Sebenarnya, otak anak tersebut menganggap tangga adalah “problem”
yang harus dia temukan jalan keluarnya, yaitu dengan menaiki tangga tersebut.
Lalu, otak memerintahkan anak itu untuk menaiki tangga. Begitu anak tangga
pertama berhasil dia lampaui, ada perasaan lega serta tantangan untuk terus
menaiki tangga kedua dan seterusnya sampai ke puncak. Jika si anak berhasil
menaiki tangga sampai puncak, dalam otak anak tersebut sudah tergores
pengalaman menaiki tangga. Ini ibarat sebuah bab dalam sebuah bidang studi yang
sudah tuntas, dengan kompetensi dasar kemampuan menaiki tangga.
Gambaran tersebut sebenarnya merupakan proses menuju cerdas yang dimaksud sebagai kebiasaan “problem solving”. Namun, kebanyakan orang tua atau guru yang melihat kejadian anak menaiki tangga, biasanya tidak memandang hal tersebut sebagai pembangun kecerdasan anak, tetapi justru berteriak kepada anak agar berhenti menaiki tangga, lalu dengan mata melotot memintanya turun. Jika anak dianggap bandel karena mempertahankan keinginannya untuk terus menaiki tangga, biasanya sang ibu atau ayah dengan cepat menarik anak tersebut, kemudian kaki anak yang tak berdosa itu dicubit sebagai hukuman tidak menuruti perintah orang tua. Percayalah, orang tua semacam itu baru saja membunuh salah satu sumber kecerdasan anak, yaitu kebiasaan “problem solving”.
Orang tua dan guru seyogyanya hanya berfikir kreatif dan
melakukan “tindakan pengamanan” tanpa harus mencegah aktivitas anak yang ingin
mengetahui sesuatu.