Rabu, 08 Februari 2012

Tutup Usia Saat Menulis Itu Khusnul Khatimah

Judul tulisannya agak “seram” ya? Tak apa. Sesekali memang kita perlu refleksi diri. Yang saya maksud begini, kita pasti ingin ujung usia kita baik. Mati dalam keadaan beriman. Meninggal saat berbuat baik. Kita acap menyebutnya khusnul khatimah (ujung usianya bagus). Saya mau demikian, Bagaimana dengan Anda?
Mati setelah salat, dalam keadaan puasa, saat bersedekah, saat berbuat kebajikan, dan lain sebagainya. Itu pilihan orang yang meninggalnya bagus. Asal kalimat terakhirnya “lailaha illallah”, insya Allah khusnul khatimah.
Buat saya, aktivitas intelektual ini (tinggi banget) ingin saya jadikan amal yang konsisten. Amal itu yang utama memang konsisten. Sedikit tidak apa asal terus-menerus. (mbanggain diri) Salat duha misalnya, tak apa setiap hari cuma dua rekaat, tapi rutin. Ketimbang sekali salat duha 12 rekaat, tapi sebulan tidak salat lagi. Sedekah Rp 500 juga bagus, asal konsisten. Ketimbang Rp 100 ribu, tapi sekali setahun.
Dalam konteks menulis, saya ingin sekali mengazamkan diri menulis sebagai amal. Dan saya ingin ujung usia saya dalam keadaan baik. Tutup usia saat menulis informasi, ilmu, wawasan yang berguna buat pembaca, saya kira bagus. Apalagi jika yang ditulis ialah ilmu yang berguna.
Orang mati memang putus amalnya. Namun menurut Kanjeng Nabi Muhammad Saw, ada tiga yang membuat amal seseorang masih mengalir: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orangtuanya. Dan menulis ada di poin kedua: ilmu yang bermanfaat. Jadi, menurut saya, saat kita wafat dalam posisi menulis sesuatu yang bermanfaat buat orang lain, bisa disebut khusnul khatimah. Dan saya ingin yang demikian.
Cuma, supaya menulis itu menjadi salah satu kondisi saat kita mangkat, pertama, kontennya bermanfaat. Menulis yang bermanfaat tak melulu berkenaan dengan basis akademis tertentu. Tulisan yang menginspirasi, tulisan yang menjadi panduan buat pembaca, dan menjadikan orang paham, adalah ilmu. Itu jelas bermanfaat.
Kedua, niatnya ikhlas. Poin ini barangkali yang sulit. Sifatnya yang abstrak membuat si penulisnya sendiri yang tahu. Soal tulisan itu kemudian berbuah honor atau menang saat dilombakan, itu soal lain. Yang penting niatnya berbagi. Berbagi ilmu, berbagi pengetahuan, berbagi amal.
Ketiga, konsisten. Amal yang baik dibangun dengan konsisten. Termasuk menulis. Konsistensi itu yang ikut menentukan mutu dari produk tulisan. Dengan menjaga konsistensi, kita bisa menjaga rutinitas menulis. Tentu dengan peningkatan mutu tulisan dari waktu ke waktu.

Mati memang urusan Tuhan. Tak tahu kapan ia datang. Kita juga tidak tahu dalam kondisi apa kita wafat. Tapi semua orang saya yakin mau menghadapi ajal dengan iman dan amal. Dan mungkin salah satunya dengan menulis. Dan bisa jadi pula khusnul khatimah kita berada di situ: saat kita menulis. Wallahualam bissawab.

1 komentar:

Trimakasih telah berkunjung ke supersimpel.blogspot.com.
Silakan tinggalkan komentar anda.. .